Menjadi Pemburu Berita? Why Not!!!!
Bekerja di dunia jurnalistik ternyata tidak segampang seperti yang saya kira sebelumnya, lebih-lebih menjadi seorang wartawan baik di media cetak maupun elektronik. Selain kudu paham tentang dunia kejurnalistikan, mulai dari apa itu berita, bagaimana teknik melakukan wawancara yang baik sampai tentang bagaimana menyusun berita dan mengeditnya., kita juga mesti memiliki banyak koneksi atau relasi yang akan memberi informasi ketika ada suatu peristiwa di suatu daerah, sehingga memudahkan kita dalam mencari berita. Tanpa punya itu semua, akan susah menjadi seorang wartawan (ini menurut saya lho ya).. Dan yang tak kalah pentingnya, kita mesti paham, atau paling tidak tahu tentang kode etik jurnalistik. Ini perlu karena duni jurnalistik rentan dengan hukum.
Mengapa tiba-tiba saya berbicara tentang dunia jurnalistik, khususnya dunia kewartawanan? Usut punya usut ternyata si penulis tengah belajar menggeluti dunia orang-orang pemburu berita (News Hunter) ini. Dunia baru yang seru, menarik dan terkadang buat pribadi menjadi kelabakan atau frustasi. Lho kelabakan, gimana maksudnya? Iya, klo sudah mutar-muter kesana kemari dan ternyata gak dapet-dapet berita, sedang media sedang dikejar deadline, ya paling-paling hanya dapet imbalan berupa hujan omelan dari pemimpin redaksi, he..he…tapi karena baru magang gak sampai begitu kok. Para pengurus dan wartawan senior alhamdulillah baik-baik, mereka membimbing kami dengan sabar.
Mesti baru tiga hari menjadi wartawan “amatir”, perasan lelah dan putus asa tak jarang menyelimuti hati dan pikiran kami. Proses meliput berita, mengumpulkan data, menyusun berita sampai melakukan pengeditan yang bagi kami (yang lagi belajar menggeluti dunia kewartawanan) butuh waktu berjam-jam lamanya.dan itu meski kami jalani setiap hari. Termasuk saat orang-orang tengah asyik bercanda dengan keluarga di hari libur. Tak ada hari libur bagi seorang wartawan. “hari libur” kami adalah setelah memperoleh berita dan selesai menyusunnya.
Hari pertama masuk, kami berlima (tiga mahasiswa UMS, dan dua mahasiswi UNS) langsung melakukan pemburuan berita (New Hunting). Setelah mendapatkan pengarahan dari pak won dan pak Achsan (bagian SDM) serta memperoleh surat izin meliput dari pihak media, kami pun mulai beraksi turun kejalananan mencari berita yang pantas tuk diliput.
Setalah berputar-putar kurang lebih satu jam, dan belum juga menemukan berita, kami putuskan tuk melakuan penyegaran hati dan pikiran dengan memenuhi panggilan ilahi. Karena waktu itu pas hari jum’at, kami melaksanakan sholat jum’at terlebih dahulu di masjid belakang Solo Grand Mall (SGM). Setelah selesai, aksi pemburuan dilanjutkan. Masih di sekitar Solo. Melihat ada yang menarik disepanjang jalan Slamet Riyadi, terbersit dalam benak kami untuk mengangkat berita tentang apa yang kami lihat di sepanjang jalan. Apa gerangan? Saudara tahu? Yup, para pedagang bendera dan umbul-umbul jelang hari kemerdekaan. Itulah tema yang akan saya angkat dihari pertama peliputan ini.
Sebelum peliputan dimulai, satu hal yang mesti dilakukan oleh seorang wartawan, lebih-lebih wartawan pemula. Menyusun beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada nara sumber mungkin salah satu langkah yang efektif untuk sukses wawancara. Hal ini penting karena selain akan memudahkan kita dalam proses wawancara, juga akan membuat kita lebih percaya diri dalam melakukan peliputan. Rumus utama yang harus digunakan dalam wawancara, adalah 4 W+ 1H (What, Where, Why, When dan How). Ini adalah rumus-rumus pasti dalam setiap melakukan wawancara, dibutuhkan data-data yang akurat dan terpercaya. Lebih-lebih tentang waktu, tempat dan nama narasumber. Hindari pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan narasumber menjawab dengan jawaban singkat yes/ no. Satu hal yang tak kalah penting saat melakukan wawancara, lebih-lebih pada para orang terkenal, adalah pengutipan statement atau opini dari nara sumber. Yang namanya kutipan, maka harus ditulis sebagaimana ucapan narasumber. Kita tidak boleh mengubahnya. Mengapa perlu ada kutipan? Hal ini perlu, sebagai penguat berita kita saat menuliskan opini narasumber yang kita tulis dengan bahasa kita sendiri. Maka dari itu, dibutuhkan kecepatan menulis agar tidak kehilangan satu katapun dari ucapan sang narasumber. Susah? Tenang aja, kita juga boleh kok menggunakan alat bantu, yaitu berupa perekam suara. Sehingga kita lebih fokus terhadap pertanyaan-pertanyaan yang akan kita ajukan. Sayangnya, itulah yang menjadi kendala saya saat ini. Belum menemukan alat perekam yang cocok dalam segala kondisi, baik dalam situasi yang ramai Maupun tenang. Karena klo menggunakan alat perekam yang biasa-biasa saja, tidak dilengkapi semacam corong yang berfungsi memusatkan suara narasumber, sehingga yang terdengar hanya suara si narasumber. Karena klo tidak demikian, suara-suara misterius akan ikutan masuk, mengambil bagian. Klo sudah begitu, yang terdengar malah suara keramaian di sekitanya, mulai dari suara musik, kendaraan bermotor sampai suara angin pun berbondong-bondong masuk. Hasilnya bukannya suara sang narasumber yang terdengar jelas, tapi malah suara radio rusak yang jelas gak merdu. Ada yang bisa kasih solusi? Mungkin dengan meminjamkan alat perekam yang baik. He..he…
Yup, itulah cerita kecil sang penulis dalam pembelajarannya menjadi seorang wartawan di sebuah media cetak. Do’anya sahabat, agar pembelajaran selama 1 bulan ini dapat dimanfaatkan penulis dengan sebaik-baiknya dan tentunya memperoleh Ridho dari Allah Tabarok wa Ta’aa. Sehingga semuanya gak berada dalam kesia-siaan. Amin…..